Termasuk diantara iman kepada Allah ﷻ adalah beriman kepada apa yang diturunkan Allah ﷻ dalam Al-Qur’an yang telah diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah ﷺ serta yang telah disepakati oleh generasi terbaik dari umat ini yaitu para sahabat, bahwa Allah ﷻ berada di atas langit dan bersemayam di atas Arsy-Nya, Maha Tinggi di atas segala makhluk ciptaan-Nya, Allah ﷻ berfirman:
﴿ اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ
وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ يُغْشِى
الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهٗ حَثِيْثًاۙ وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ
وَالنُّجُوْمَ مُسَخَّرٰتٍۢ بِاَمْرِهٖٓ ۙاَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْاَمْرُۗ
تَبٰرَكَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ ٥٤ ﴾
“Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang
telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa kemudian Dia bersemayam di
atas ʻArasy, Dia menutupkan malam pada siang
yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan, dan
bintang-bintang tunduk pada perintah-Nya. Ingatlah! Hanya milik-Nyalah segala
penciptaan dan urusan. Maha berlimpah anugerah Allah, Tuhan semesta alam” (QS.
Al-A’raf: 54).
Al-Hafiz Ibnu Katsir -rahimahullah- ketika mentafsirkan ayat tersebut beliau berkata: "Pandangan yang kami ikuti berkenaan dengan masalah ini adalah pandangan Salafus Shalih seperti Imam Malik, Al-Auza’I, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’ad, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih dan para imam lainnya -radhiyallahu 'anhum- sejak dahulu hingga sekarang, yaitu menetapkan seperti apa adanya, tanpa takyif (bagaimana), tanpa tasybih (menyerupakan), dan tanpa ta’thil (menolak). Dan setiap makna dzahir yang terlintas pada benak orang yang menganut faham musyabbihah (menyerupakan Allah ﷻ dengan makhluk), maka makna tersebut sangat jauh dari Allah ﷻ, karena tidak ada sesuatu pun dari ciptaan Allah ﷻ yang dapat menyerupai-Nya, Allah ﷻ berfirman:
﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهٖ
شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ١١ ﴾
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. As-Syura: 11)
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/426-427)
Dalam ayat lain Allah ﷻ menegaskan:
﴿ اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى ٥ ﴾
“(Dialah Allah) Yang Maha Pengasih (dan)
bersemayam di atas ʻArasy”.
(QS. Thaha: 5)
Pernah suatu ketika Imam Malik -rahimahullah- sedang berada dalam sebuah majelis, kemudian beliau ditanya tentang bagaimana cara bersemayamnya Allah ﷻ di atas arsy-Nya, maka beliau pun menjawab:
الاِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ
مَعْقُوْلٍ، وَالْإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ، وَمَا أَرَاكَ
إِلَّا ضَالًّا
“Bersemayamnya Allah telah diketahui (maknanya), dan bagaimananya
tidak dapat dicapai oleh nalar, sedangkan beriman kepadanya merupakan sesuatu yang wajib, dan bertanya tentang
hal itu adalah sesuatu yang baru (bid’ah), dan aku tidak melihatmu kecuali dalam
kesesatan”.
Kemudian
Imam Malik memerintahkan seseorang untuk mengeluarkan orang yang bertanya
tersebut dari majelisnya. (Syarhus Sunnah Lil Imam Al-Baghawi 1/171)
Imam Abu Hanifah -rahimahullah- juga penah berkata:
مَنْ أَنْكَرَ أَنَّ اللهَ فِيْ السَّمَاءِ فَقَدْ كَفَرَ
“Barang siapa yang mengingkari bahwa Allah berada di atas langit maka ia telah kafir” (Mukhtashar Al-‘Uluw Lil ‘Aliyyil Ghaffar hal. 137)
08 Jan 2023