Ada sebagian orang yang masih bingung
dan bertanya-tanya apakah menyentuh perempuan itu dapat membatalkan wudhu atau
tidak? Kita tahu bahwa Allah ﷻ berfirman
dalam Surat Al Maidah Ayat 6,
وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى
سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ
النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا
فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗ
“Dan
jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
(toilet), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah
dengan debu yang baik (suci), usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu” (QS. Al Maidah 6).
Menurut
dzahir ayat diatas maka menyentuh perempuan dapat membatalkan wudhu karena kita
diperintahkan untuk bersuci dengan cara bertayamum setelahnya (ketika tidak ada
air), tapi apakah memang demikian adanya, atau tergantung bagaimana cara
menyentuhnya, dan lantas bagaimana rinciannya? Mari kita simak pendapat beberapa
ulama dari 5 mazhab berikut ini:
Imam
Asy-Syaibani (189 H) berkata dalam kitab Al Hujjah:
قَالَ أَبُوْ
حَنِيْفَةَ رَحمَهُ اللَّهُ فِي الرَّجُلِ يُقَبِّلُ الْمَرْأَةَ وَهُوَ
مُتَوَضِّئٌ أَنَّ ذَلِكَ لَا يُنْقِضُ الْوُضُوْءَ
“Imam
Abu Hanifah -rahimahullah- berkata tentang seorang laki-laki yang mencium
perempuan (istrinya) dalam keadaan berwudhu bahwasannya hal itu tidak
membatalkan wudhunya” (Al Hujjah 1/65)
Imam
Malik -rahimahullah- (179 H) berkata dalam kitab Al Mudawwanah:
فَإِذَا مَسَّتْ
الْمَرْأَةُ الرَّجُلَ لِلَّذَّةِ فَعَلَيْهَا الْوُضُوءُ، وَكَذَلِكَ إذَا مَسَّ
الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ بِيَدِهِ لِلَّذَّةِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ مِنْ فَوْقِ
ثَوْبٍ كَانَ أَوْ مِنْ تَحْتِهِ فَهُوَ بِمَنْزِلَةٍ وَاحِدَةٍ
“Apabila
perempuan menyentuh laki-laki sambil menikmati maka dia (perempuan) wajib
wudhu, demikian pula apabila laki-laki menyentuh perempuan dengan tangannya
sambil menikmati maka dia (laki-laki) wajib wudhu baik (ketika menyentuhnya) dilapisi
kain atau tidak maka kedudukannya tetap sama” (Al Mudawwanah 1/121).
Imam
Asy-Syafi’i -rahimahullah- (204 H) berkata dalam kitab Al Umm:
وَإِذَا أَفْضَى
الرَّجُلُ بِيَدِهِ إلَى امْرَأَتِهِ أَوْ بِبَعْضِ جَسَدِهِ إلَى بَعْضِ جَسَدِهَا لَا
حَائِلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا بِشَهْوَةٍ أَوْ بِغَيْرِ شَهْوَةٍ وَجَبَ عَلَيْهِ
الْوُضُوءُ وَوَجَبَ عَلَيْهَا
“Apabila
seorang laki-laki menyentuh istrinya dengan tangannya atau sebagian anggota
tubuhnya menyentuh sebagian anggota tubuh istrinya dan tidak ada penghalang
antara keduanya baik (menyentuhnya) dengan syahwat atau tanpa syahwat maka wajib
bagi keduanya untuk berwudhu” (Al Umm 1/30).
Imam
Ibnu Qudamah -rahimahullah- (620 H) berkata dalam kitab Al Kaafi:
ظَاهِرُ الْمَذْهَبِ
أَنَّهُ يَنْقُضُ إِذَا كَانَ لِشَهْوَةٍ وَلَا يَنْقُضُ لِغَيْرِهَا جَمْعًا
بَيْنَ الآيَةِ وَالأَخْبَارِ
“Menurut
dzahir mazhab kami (hambali) bahwasannya (menyentuh perempuan) membatalkan
(wudhu) apabila disertai syahwat dan tidak membatalkan (wudhu) apabila tidak
disertai syahwat menggabungkan antara ayat (Al Maidah: 6) dengan Hadits-hadits” (Al Kaafi 1/90).
Imam
Ibnu Hazm -rahimahullah- (456 H) berkata dalam kitab Al Muhalla:
وَمَسُّ الرَّجُلِ الْمَرْأَةَ وَالْمَرْأَةِ
الرَّجُلَ بِأَيِّ عُضْوٍ مَسَّ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ إذَا كَانَ عَمْدًا دُونَ
أَنْ يَحُولَ بَيْنَهُمَا ثَوْبٌ أَوْ غَيْرُهُ، سَوَاءٌ أُمُّهُ كَانَتْ أَوْ
ابْنَتُهُ أَوْ مَسَّتْ ابْنَهَا أَوْ أَبَاهَا الصَّغِيرَ وَالْكَبِيرَ سَوَاءٌ
لَا مَعْنَى لِلَّذَّةِ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ، وَكَذَلِكَ لَوْ مَسَّهَا عَلَى
ثَوْبٍ لِلَّذَّةِ لَمْ يَنْتَقِضْ وُضُوءُهُ
“dan
(membatalkan wudhu) laki-laki menyentuh perempuan dan perempuan menyentuh
laki-laki dengan anggota badan manapun yang disentuhnya diantara keduanya apabila
dengan sengaja dan tidak ada penghalang kain atau apapun, (hukumnya) sama saja
(laki-laki menyentuh) ibunya atau anak perempuannya, atau (perempuan) menyentuh
anak laki-lakinya atau ayahnya, (baik) masih kecil atau dewasa sama saja, tidak
dianggap ada syahwat sedikitpun di antara mereka, namun juga apabila
menyentuhnya ada penghalang kain (meskipun) disertai dengan syahwat maka tidak
batal wudhunya”
(Al Muhalla 1/227).
Kesimpulan:
Dengan
demikian dapat kita pahami bahwa menyentuh perempuan jika diiringi syahwat maka
jelas membatalkan wudhu, namun bagaimana apabila menyentuhnya tidak diiringi
dengan syahwat? Dalam hal ini penulis lebih menguatkan pendapat mazhab hambali
yang mengatakan bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu jika tidak diiringi
dengan syahwat berdasarkan beberapa riwayat dari Aisyah -radhiyallahu anha-
berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ
النَّبِيُّ ﷺ يُقَبِّلُ
بَعْضَ أَزْوَاجِهِ ثُمَّ يُصَلِّيْ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
Dari Aisyah -radhiyallahu anha-
berkata: “Nabi mencium sebagian istri-istrinya kemudian beliau sholat tanpa
berwudhu (dahulu)” (HR. Abu Dawud 179, Tirmidzi 86, Nasai 170, Ibnu majah
503, Ahmad 25766).
Dan
juga,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ
فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ
Dari Aisyah -radhiyallahu anha- berkata: "Pada suatu malam aku kehilangan Rasulullah dari kasur, lalu aku mencarinya, lalu tanganku menyentuh bagian dalam kakinya dan beliau sedang berada di masjid dan kedua kakinya tegak” (HR. Muslim 486)
Dan
juga,
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهَا قَالَتْ: كُنْتُ
أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ ﷺ،
وَرِجْلَايَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلِي،
فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا. قَالَتْ: وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا
مَصَابِيحُ
Dari
Aisyah -radhiyallahu anha- berkata: “Suatu ketika aku tidur dihadapan
Rasulullah, dan kedua kakiku diarah kiblat beliau, apabila beliau sujud beliau
menyentuh kakiku, akupun memegangi kedua kakiku, apabila beliau berdiri aku
bentangkan kedua kakiku”, Aisyah berkata: “Dan pada saat itu rumah
(kami) tidak ada lampunya” (HR. Bukhari 382 dan Muslim 512).
Wallahu
Ta’ala A’lam…
Semoga bermanfaat.
29 Okt 2022